Selasa, 02 Agustus 2011

S E H A D A P A N


Oleh Ai El Afif


Andai saja aku dan  pacarku   tak berbuat dosa, pasti aku tak jadi begini. Meregang nyawa di usia 20 tahun karena pacarku memasaksaku melakukan aborsi.


I
Dengan kuda terbang aku mencarimu. Kubisikkan angin kematian agar menyepah celaka. Ingatkah kau hikayat kita? Kisah gumpal darah yang  kau gugurkan. Aku ingin mengubah kisahnya. Menghadirkan merah, getah, dan malam gerhana…
*
Aku bersendawa. Tak bisa kupastikan berapa banyak bangkai tertelan. Kemarin—kalau tak salah, seratus capung, enam ribu lintah, secawan lalat, dan seribu cacing tanah melarut lambung.
Aku terserang lapar.
Kuputuskan menyantap tiga kucing hitam, semangkuk lelawa, dan sepuluh buaya rawa malam ini bersama Sang Guru di dalam gua basah.
“Berapa usiamu?” wanita berambut ular, berwajah seperempat rusak itu menatapku.
”Dua puluh.” ucapku sembari menjilat kuku, membersihkan sisa lelawa.
”Bukan usia dunia yang kutanyakan, tapi usia kematianmu. Sudah berapa lama kau menjadi hantu?” mata wanita itu menusuk tajam, seakan menyimpan dendam curam.
“Malam ini memasuki hari ke lima belas.”
” Kau menenggak racun karena putus cinta?” ia menerka. Kulihat ada nyala di matanya.
“Bukan. Aku menelan cairan pahit dari botol bergambar bintang, sepuluh menit sebelum aborsi.”
”Perempuan tolol! Kau melakukan nista. Pantas kau gentayangan!”
”Aku ingin janinku, Guru… Tapi pacar, ah pembunuh itu tak menginginkanya!”
”Kau membencinya?!”
Aku mengangguk.
”Lalu, untuk apa kau kemari?”
”Untuk berguru padamu. Aku ingin memanjangkan kuku dan dua taring kelabu.”
II
Aku bertaruh nyawa menggugurkan gumpal darah. Namun kau keras kepala! Sungguh, ingin  kutampar kanan-kiri pipimu saat itu. Berharap merah itu terbit pada mata, pipi, dan bibirmu yang pecah.
*
Aku tak ingin menjadi ayah semuda ini!
Sengit mulutmu terngiang. Memantul, meletupkan murka. Entah mengapa kurindukan wajah basi dan busuk nafasmu. Ada kenikmatan bila ritual ini usai. Kan kucari kau agar benciku tuntas.
Sayang, persiapkan dirimu sekarang. Tak ada gunanya membiarkan kau berkitar menghirup nafas bumi.
Seketika liurku meruah.
Aku mendesah, menghembuskan napas kesumat.
Lima belas hari bergantung pada dinding gua, mengatup mata, membiarkan lelawa membungkus rambut, wajah dan badan mengundang lelah. Aku seperti Kristus di sini. Kedua tangan merentang, kaki terpaku rapat dan kepala tertunduk khidmat. Sementara Guru di bawah sana mendendangkan mantra kesaktian. Penuh awas menjaga nyala api dan ia hembuskan asapnya sesekali ke arahku tiap satu mantra usai.
Kurasakan tubuhku bergejolak. Rusukku ingin melesat, menembus badan.
Sebentar lagi mungkin aku menjelma penyihir atau saja Vampire. Seperti wanita dengki yang tak menginginkan Putri Salju mengalahkan kecantikannya. Pun aku begitu. Menjelma dalam kecantikan gelap,  membawa apel berkilap agar lelaki yang tak bertanggung jawab itu mencicipnya. Berharap ia tertidur dalam suram abadi dan membusuk di atas pembaringan.
Tepat seperti aku yang menahan sakit saat sepasang tangan menggaruk janinku dulu.
Wahai lelaki berjakun, berdoalah sesering kau bisa. Hafalkan semua doa pengusir setan wanita. Kupastikan lelapmu membeku dan jangan berharap nasibmu serupa putri tidur.  Takkan ada wanita yang sudi menciumimu dan membuat kau terbangun.
III
Harusnya kau terlahir cacat. Tak bertangan tak bermata. Sebab mata dan tanganmu mengajarkan dosa. Tiap kali mulutmu menggoda, meruapkan mantra cinta, pipi ini tersapu merah. Tangan  itu yang memetik dahlia dan kau sematkan tepat di atas telinga….
Adakah ular di surga itu dahulunya kau? Yang menggoda Adam dan Hawa mengunyah apel merah?Dan memilih bereinkarnasi agar di dunia kau  kembali menggoda?Kalau benar adanya, kini kucari kau dalam sepi berharap kau mati. Sebab aku bukan pendosa!
*
Rentetan kejadian itu kembali ditampilkan: pertama-taman kau berang melempar barang-barang. Mengamuk setan, menendang pintu, membanting kursi-kursi ruang tamu. Tak sampai di situ, kau menjelma Tuhan. Mengekang tenggorokan dengan dua tangan dan memaksa menelan air busa memabukkan.
Cairan pekat. Cairan pahit. Cairan menyengat.
Pusing. Pusing. Pusing. Pusing. Pusing. Pusing . Pusing. Pusing. Pusing.
Brukkk!
Aku limbung. Terjatuh dari dinding gua.
”Kau tak boleh mengingat masa lalu!” wanita berambuat ular menegurku. Diulurkan tangannya yang pucat keriput.
”Aku ingin membalas dendamku, Guru.”
”Sabarlah. Purnama sebentar lagi muncul. Taringmu pun akan timbul.”
”Bagaimana dengan kukuku, Guru?”
“Setelah kau menyantap empat gagak hutan dan kelabang kembar, barulah kukumu memanjang dan menghitam.”
”Bagaimana mendapatkan semua hewan itu?”
Tak ada jawaban di sana. Hanya terdengar lengkingan panjang. Menderik, menghantar celaka.
Angin memusar di sekitar kami. Kulihat mata guru memerah. Lalu gurat ungu, hijau, dan biru menyatu, menutup bola matanya. Kepala yang dipenuhi ular itu, menggeliat tak karuan.  Lalu ia mengerang. Kedua tanganya kebas mengeluarkan darah yang menetes ke segala arah. Aku memekik. Kupikir, telah salah berguru pada perempuan berwajah seperempat rusak ini.
Ia kian gila. Menggelepar. Berkoar-koar dalam lengkingan panjang lengkingan pendek. Nafas panjang nafas pendek. Tawa panjang  tawa pendek. Terdengar gema. Terdengar murka. Terdengar tawa kering-serak-sesak-basah. Panjang, memantul melengking-lengking. Lalu ia diam. Lalu Sepi. Lalu angin berhembus kembali.
Kami sehadapan. Aku mundur beberapa langkah. Berjaga-jaga dari serangan yang mungkin tak kutahu arahnya.
Wanita itu membuat cakar seperti kucing menggaruk batang pohon damar. Dengan cepat ia tempelkan tangannya di perut dan membuat sobekan menganga di sana.  Aku melihatnya! Aku melihat isi perutnya yang beragam rupa. Usus menggantung, darah meruah, gumpal cacing tanah, hitam lintah,  daging kucing terbungkus lendir, dan empat telur utuh juga kelabang kembar. Semua itu bercecer. Encer  mencium tanah.
Kilap. Liat. Licin.  Menggumpal. Amis. Anyir.
“Kau takut?” ucapnya dalam kilatan mata membara.
“….”  Suaraku kering. Tercekat entah di mana.
”Kau lihat empat telur dan kelabang kembar dari isi perutku?”
Aku menggerakkan kepala ke atas  ke bawah.
“Ambil keempat telur itu. Dekatkan ia pada api. Dan kelabang kembar itu, kunyahlah!”
Aku menurut. Dengan cepat kupunguti empat telur dan mendekatkannya pada api.
Terdegar kretak. Sepertinya telur ini menetas. Aku terperangah. Lamat-lamat sesuatu menyerunduk, memaksakan diri ke luar dari cangkang telur.
”Guru, telurnya…”
”Purnama  telah muncul. Telur itu, berisi bayi-bayi gagak. Telan semuanya. Dan kau tutup santap malammu dengan kelabang kembar!”
Gemetar aku menyuapkan mulut ini dengan bayi-bayi gagak. Rasanya geli bukan main saat gigi dan langit-langit tersentuh mereka. Tak ada waktu untuk menguyah.  Kupaksakan tenggorokan menelan dengan cepat.
Purnama bersinar. Kuraup kelabang kembar dan kulenyapkan tanpa tergerus geligi.
”Kau sudah siap. Sekarang saatnya.”  Guru menarikku ke luar. Menjauh dari gua basah.
Di bawah cerlang purnama, ia meniup wajahku tiga kali berturut-turut. Aku mengerang. Mataku perih tak tertahan. Lalu, lengkingan serigala melesat dari mulutku yang kerontang.
Kuku ini memanjang kelam. Taringku lancip tersapu kelabu-hitam. Aku terguncang-guncang dilarung tawa.
”Kau murid yang harus kujaga. Tak boleh kau meninggalkanku sendiri dalam sepi tak bernyawa.”
Kami sehadapan, dengan mata saling bertukar pandang.
Guru menghembuskan  napas. Dalam gerakan lamat-lamat diguncangkkan kakinya empat kali dan berubahlah ia menjadi kuda terbang berwajah seperempat rusak.
Aku terpesona.
”Naiklah, tunggangi aku dalam perjalanan dendammu.”
IV

Sekali waktu kau harus tahu. Cermin, kaca jendela, keramik cerlang kan menampakkan rupamu. Ingat cairan pahit yang kau tuangkan? Aku kembali. Telah mengasah kuku dan dua taring kelabu. Kita sehadapan. Moga kau kisut!

*
Hujan tercurah. Langit memuntahkan guntur bersahut-sahutan. Kulihat kau terlelap. Nikmat memeluk guling. Dengkuran itu berirama dendam. Aku tak sabar. Gelap ini menggiurkan.
Dari kaca jendela aku mengintipmu. Jegil kedua mata melihat kau tersungkur kuyu beradu mimpi busuk. Aku tak membayangkan bagaimana caranya membangunkanmu dengan baik. Apa kusiapkan secangkir kopi yang menguarkan harum biji-bijinya dan pelan sekali kau menggeliat terjaga? Ah, itu terlalu romantis!
Bagaimana dengan cara ini: aku berjelanak di bawah karpet kamarmu sembari menenteng gelas berkaki jenjang berisi darah segar? Perlahan kuusap keningmu dan kau terbangun, memekik ketakutan, mengingat Tuhan.
Ahhh!! Terlalu lama. Tak baik membuang-buang waktu. Aku berjalan menembus dinding kamarmu. Sejenak kutatap wajahmu lekat-lekat. Sungguh manis kuku ini membuat luka di wajah itu. Dengan kasar aku menjambak selimut dan membuat kau berguling jatuh tertumbuk lantai.
Kau terbangun.
“Apa kabar, Sayang… Aku datang membawa kematian!”
Sungguh, sebuah kalimat pembuka yang indah.
”K…Ka..kau…”  kau tergugu. Kalimatmu seperti anak TK  mengeja kata-kata.
Ingin kusemburkan tawa sekarang.
“Iya,  ini aku. Suatu kehormatan sehadapan denganmu!”
Kau menampar pipimu berulang-ulang. Menyisakan merah yang mebias persis perona pipi wanita.
”Kau sadar kalau ini bukan mimpi? Hmm.. kasurmu mengingatkan peristiwa gumpal darah. Ini kasur di mana aku ditidurkan, bukan?”
Kau terisak. Bergetar. Menampilkan ketakutam mendalam.
”Jawab! Kau bisu, hah?!” Aku menyalak. Menyuruhmu membuka mulut yang sedari tadi kau katup rapat.
“I..iya…”
“Cuihhh! Kau banci! Dingin hujan mengundang lapar, kau tak lihat kukuku bergerak meminta makan?”
Kau beringsut, meraih apa saja dan melempar murka ke arahku.
Cukup! Aku merasa kaku mengulur-ulur waktu! Kau terlampau kurang ajar. Kutanyai baik-baik tapi kau mengusirku dengan kasar!
Aku menganga. Menampilkan dua taring kelabu. Liurku menetes. Dan secepat kilat aku menerkammu. Kutancapkan taring di batang tenggorokan itu penuh amarah.
Kaca jendela memantulkan kita berdua. Cermin dan keramik cerlang menampilkan wajahmu dan wajahku dalam waktu bersamaan.
Kuseruput habis darahmu.
Kau mengerang. Merintih kesakitan.
Kukoyak lehermu.
Kau diam. Tak lagi menyisakan ketakutan.
Aku belum puas. Dahulu kau menyuruh orang menggaruk janinku. Kali ini aku meminta ganti rugi. Dengan kasar kutenggelamkan kukuku mencabut jantungmu. Mungkin janinku dulu sebesar ini.
Aku memeluk jantungmu sambil mengucapkan, ”Janinku, ini ibu, Nak.”
Kuserukan  kalimat itu berulang-ulang bersimbah air mata.
Kita impas sekarang. Kini, kau tahu rasanya kematian. Aku melesat pergi. Meninggalkan rumahmu dengan puas yang meluap.
V
Kulihat abu-abu di wajahmu. Sungguh, takdir tesirat di jariku yang merindu  merah dan pucuk kuning kamboja.
Dengan kuda terbang kubawa janinku menghirup hawa malam.
*
Aku menatapnya. Air mataku mengalir deras saat kuciumi janinku yang dibalur merah hitam.
Kuhirup aromanya dalam-dalam. Wangi janinku begitu khas. Anyir, pucat, licin, bergetah.
Seperti asin mengundang mual-muntah. Seperti merah yang tajam menggoda.
Nak, kita ke rawa-rawa sekarang. Kan kutidurkan kau tepat di samping jasad ibu yang di buang ayahmu dulu.
Jangan takut, Nak. Meski badan ibu menggembung dirasuk air, tapi hati ibu tak berubah. Tetap sayang dan ingin mengelusmu seperti kau di perutku dulu.
Lihatlah di samping rawa-rawa, Nak.
Kubawakan serigala betina.
Kau tahu untuk apa?
Agar kau menyusu padanya.*
Ai El Afif, Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang
Catatan:
Lelawa : kelelawar.
Jegil :  menyalang, membeliak, melotot.
Berjelanak : merayap, menyelinap di bawah dedaunan dan sebagainya.

(Pemenang LMCR 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar